Kemaren malam Ibu saya menelepon. "Idola kamu meninggal."
Heh? Idola yang mana? Nikki Sixx? Atau Al Pacino? "Ali Sadikin."
Glek.
Well, yea, he's old. Jadi mungkin memang "sudah waktunya". Apalagi, saya tahu bahwa beliau sudah sakit selama sekitar sebulan dan dirawat di Singapore.
Almarhum Ali Sadikin adalah pahlawan besar bagi saya. Kalau dibacakan di berita tadi pagi bahwa, "Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya", uh, saya agak protes. Saya akan menyebutkan sebagai, "Indonesia kehilangan putra terbaiknya." He is the best. Setidaknya, begitulah menurut saya.
Saya "mengenal" sosok almarhum Ali Sadikin ketika saya berusia sekitar 6 tahun. Hasil membaca interview dengan beliau di beberapa koran dan majalah. Saya lantas "jatuh cinta" pada beliau ketika saya berusia sekitar 12 tahun. Ketika saya sudah dapat memahami benar segala hal yang sudah dilakukan beliau untuk kota Jakarta. Ketika saya sudah dapat mencerna kepandaian beliau yang teramat sangat. Ketika saya akhirnya mengerti bahwa ketajaman mulut beliau bukan sekadar hembusan angin kosong. And, please, take a look at the picture. He's gorgeous. Sangat berwibawa. Admit it.
Tahun 1997, saya menulis surat dengan tulisan tangan sepanjang 6 halaman kepada beliau. Saya mengirimkannya tidak ke rumah Jl. Borobudur No. 2, melainkan ke tempat tinggal beliau di Jatipadang. Ternyata, surat saya itu terselip di antara tumpukan koran di rumah beliau selama lebih dari sebulan. Saya bahkan sudah lupa bahwa saya telah mengirimkan surat tersebut, ketika akhirnya seorang wanita menghubungi saya melalui telepon. Wanita tersebut adalah sekretaris almarhum Ali Sadikin. Ia menceritakan mengenai apa yang terjadi pada surat saya. Ia minta maaf, lalu kemudian menyambungkan telepon tersebut kepada almarhum Ali Sadikin.
Teman saya boleh jingkrak-jingkrak ketika keningnya dikecup oleh vokalis Flowers. Teman saya yang lain boleh gelagapan ketika diberi senyum oleh gitaris Slank. Tapi rasanya, euphoria terbesar yang pernah saya alami seumur hidup adalah ketika seorang Ali Sadikin menyapa saya dengan hangat di telepon. Saya nyaris speechless. Tapi untungnya tidak. Kami berdiskusi selama sekitar 15 menit di telepon. Membahas inti surat saya. Membahas Petisi 50. Menceritakan tentang prostitusi, judi, serta konsepnya dalam membangun Jakarta. Ah. Beliau terlalu jenius. Terlalu wah. Terlalu keren. Terlalu maju. Membuat saya semakin "jatuh cinta". I adore Ali Sadikin.
Beliau juga sekali waktu mengirimkan kartu ucapan pada hari raya Idul Fitri 1419 Hijriyah. Menyesal sekali saya tidak dapat memenuhi undangannya untuk makan siang di Jl. Borobudur No. 2 pada waktu itu. Tapi, ya sudahlah. Terlanjur.
Saya merasa kehilangan. Sekaligus merindukan. Merindukan hadirnya seseorang berkualitas seperti almarhum Ali Sadikin.