May 21, 2008

Ali Sadikin (7 Juli 1927 - 20 Mei 2008)


Kemaren malam Ibu saya menelepon. "Idola kamu meninggal."
Heh? Idola yang mana? Nikki Sixx? Atau Al Pacino? "Ali Sadikin."
Glek.

Well, yea, he's old. Jadi mungkin memang "sudah waktunya". Apalagi, saya tahu bahwa beliau sudah sakit selama sekitar sebulan dan dirawat di Singapore.

Almarhum Ali Sadikin adalah pahlawan besar bagi saya. Kalau dibacakan di berita tadi pagi bahwa, "Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya", uh, saya agak protes. Saya akan menyebutkan sebagai, "Indonesia kehilangan putra terbaiknya." He is the best. Setidaknya, begitulah menurut saya.

Saya "mengenal" sosok almarhum Ali Sadikin ketika saya berusia sekitar 6 tahun. Hasil membaca interview dengan beliau di beberapa koran dan majalah. Saya lantas "jatuh cinta" pada beliau ketika saya berusia sekitar 12 tahun. Ketika saya sudah dapat memahami benar segala hal yang sudah dilakukan beliau untuk kota Jakarta. Ketika saya sudah dapat mencerna kepandaian beliau yang teramat sangat. Ketika saya akhirnya mengerti bahwa ketajaman mulut beliau bukan sekadar hembusan angin kosong. And, please, take a look at the picture. He's gorgeous. Sangat berwibawa. Admit it.

Tahun 1997, saya menulis surat dengan tulisan tangan sepanjang 6 halaman kepada beliau. Saya mengirimkannya tidak ke rumah Jl. Borobudur No. 2, melainkan ke tempat tinggal beliau di Jatipadang. Ternyata, surat saya itu terselip di antara tumpukan koran di rumah beliau selama lebih dari sebulan. Saya bahkan sudah lupa bahwa saya telah mengirimkan surat tersebut, ketika akhirnya seorang wanita menghubungi saya melalui telepon. Wanita tersebut adalah sekretaris almarhum Ali Sadikin. Ia menceritakan mengenai apa yang terjadi pada surat saya. Ia minta maaf, lalu kemudian menyambungkan telepon tersebut kepada almarhum Ali Sadikin.

Teman saya boleh jingkrak-jingkrak ketika keningnya dikecup oleh vokalis Flowers. Teman saya yang lain boleh gelagapan ketika diberi senyum oleh gitaris Slank. Tapi rasanya, euphoria terbesar yang pernah saya alami seumur hidup adalah ketika seorang Ali Sadikin menyapa saya dengan hangat di telepon. Saya nyaris speechless. Tapi untungnya tidak. Kami berdiskusi selama sekitar 15 menit di telepon. Membahas inti surat saya. Membahas Petisi 50. Menceritakan tentang prostitusi, judi, serta konsepnya dalam membangun Jakarta. Ah. Beliau terlalu jenius. Terlalu wah. Terlalu keren. Terlalu maju. Membuat saya semakin "jatuh cinta". I adore Ali Sadikin.

Beliau juga sekali waktu mengirimkan kartu ucapan pada hari raya Idul Fitri 1419 Hijriyah. Menyesal sekali saya tidak dapat memenuhi undangannya untuk makan siang di Jl. Borobudur No. 2 pada waktu itu. Tapi, ya sudahlah. Terlanjur.

Saya merasa kehilangan. Sekaligus merindukan. Merindukan hadirnya seseorang berkualitas seperti almarhum Ali Sadikin.

May 19, 2008

Klappertaart Caryabudi


Rating:★★★★
Category:Other
Saya pikir, seperti inilah seharusnya makanan yang dinamakan Klappertaart. Karena inilah kue kelapa muda pertama yang saya cicipi waktu kecil. Selain itu, di kardus tempatnya, dituliskan juga namanya, “Klappertaart (Kue Kelapa Muda)”. Maka, salahkah kalau lantas saya seringkali menolak memakan Klappertaart yang bisa dijumpai di restoran masakan Manado yang rasanya cenderung lebih manis dan teksturnya juga lebih mirip vla padat yang dicampurkan dengan irisan daging buah kelapa muda? Bahkan buatan Ibu saya pun masih sering saya persalahkan.

Dibungkus kardus berukuran 30cm x 30cm dengan ultra-vintage design berwarna hijau, kue kelapa muda ini hanya bisa diperoleh dengan memesan terlebih dahulu. Biasanya sih, saya menerima kue ini sebagai oleh-oleh dari kerabat ibu di Surabaya yang bertandang ke rumah. Kata ibu saya, yang pernah beberapa kali ke Caryabudi untuk mengambil pesanannya, tempat ini dihuni oleh beberapa orang tua. Tidak ada display. Hanya membuat berdasarkan pesanan. Toh, tetap tidak tampak seperti melayani pesanan juga. Nyatanya, dari sticker yang tertempel di balik kardus pembungkus, Caryabudi bahkan menerima pesanan lainnya. Selain aneka taart (mulai dari Taart Ulang Tahun, Roll Taart, Cheese Cake, bahkan ada Siwalan Taart! Hahaha… Duh, saya bahkan nggak bisa membayangkan gimana bentuknya Siwalan Taart ini. Nice idea, though), ada Pastel Tutup, Sup Merah, hingga Fruit Salad.

Berbeda dengan Klappertaart kebanyakan, Klappertaart dari Caryabudi ini lebih menyerupai bolu yang lantas di bawahnya terdapat beberapa lapis irisan tebal daging buah kelapa muda. Tidak ada taburan irisan kacang almond juga di atasnya, melainkan hanya beberapa buah kismis. Jarang-jarang banget. Bagian bolu sebelah luar terasa seperti bolu pada umumnya. Teksturnya pun biasa, tidak spesial. Tapi mendekati lapisan daging buah kelapa muda, tekstur bolu jauh lebih lembut dan padat. Ini dia bagian kesukaan saya.

Entah kenapa, saya sangat menyukai Klappertaart ini. Bukan yang lainnya. Mungkin karena saya lebih terbiasa dengan rasanya, yang manisnya sangat tipis. Atau lebih karena Klappertaart yang ini selalu membawa saya ke ingatan masa lalu. Aw!

O ya. Ini saya catatkan alamatnya;
Caryabudi
Jl. Ngagel Jaya No. 52, Surabaya
Phone: (031) 5023327


Dan, berhubung selalu dibawakan sebagai oleh-oleh, jadi… Maaf, saya nggak tahu harganya. Hiks.

Warung Tengil


Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Other
Location:Jl. Boulevard Raya FW-28, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Telp: (021) 4532239

Babi guling ala Bali adalah salah satu masakan favorit saya. Saya langsung jatuh cinta sejak pertama kali mencoba babi guling di warung Nadi Jaya, Kuta, Bali. Salah satu warung babi guling terbaik di Bali – versi saya, of course. Jadi, setiap pulang ke Jakarta, yang sering bikin saya kangen sama Bali ya, tentu aja, babi guling-nya. Karena susah banget mendapatkannya di sini. Ada sih, di Pura yang di Rawamangun, menurut seorang teman. Tapi, uhm… Ke Pura? Ribet kayaknya. Jadi, suatu malam, setelah kekenyangan menghabiskan seporsi bubur sapo di Bun Ong - Kelapa Gading, saya melihat di seberang ada sebuah kedai makan. Warung Tengil namanya. Dengan gambar kartun babi sebagai maskotnya. Babi guling Bali? Aw. Harus dicoba! Apalagi ketika melewatinya, tempat ini terlihat penuh sekali. Ramai = mungkin enak :)

Saya datang pada hari Minggu sore. Pengunjung terlihat ramai, tapi tidak seramai malam saat pertama kali saya mengetahui keberadaan Warung Tengil ini. Saya dan Brutus dipersilakan naik ke lantai 2, karena meja di lantai dasar sudah lumayan penuh. Interior busuk ini, saya duga, untuk memperjelas kesan tradisionalnya. Paduan seng bekas (terlihat dari sebagian yang berkarat), anyaman bambu bernuansa cokelat tua, kap lampu bambu, sayangnya harus bertabrakan dengan sangat anehnya dengan lampu kristal – walaupun cahayanya tetap remang. Ah, hell with the interior. Saya ke sini mau makan kok! Dan inilah yang saya pesan…

Nasi Babi Guling Pisah (26K)
Datang dalam porsi yang besar. Daging babi yang generous – sebelumnya memang sudah dijelaskan oleh mbak waitress, bahwa pada porsi pisah ini, lauknya akan lebih banyak jika dibanding dengan porsi campur. Beberapa potong jeroan babi yang digoreng, sayur urap, kerupuk kulit babi, dan 2 keping kulit babi guling, ikut menemani si daging babi guling yang berlumuran bumbu. Yummm! Membangkitkan selera, indeed. Tekstur daging babi terasa moist. Bumbunya? Well done. Bisa disejajarkan dengan si Nadi Jaya. Pelan-pelan nonjok. Tiba-tiba aja saya sudah mengucurkan keringat deras; kepedesan. Kick ass! Gorengan jeroan tidak segaring di Nadi Jaya, tapi nyatanya justru menjadi point lebih. Karena tidak menghilangkan rasa si jeroan itu, pada akhirnya. Sayur urapnya biasa, tidak spesial. Kulit babinya, jauh dari crispy. Nyaris liat, malah. Sayang. Padahal, lapisan lemak di bawahnya tipis sekali. Kalau saja diolah atau disimpan dengan lebih tepat, saya yakin, bisa jadi akan mengalahkan kulit babi guling lainnya di seantero Bali!

Nasi Babi Bambu Bakar (26K)
Bumbunya sebenarnya sudah amat sangat baik. Dan cara memasak daging apapun di dalam batang bambu, selalu menghasilkan aroma tebal menggiurkan yang datang dari bumbu-bumbu serta bambu itu sendiri. Sayangnya, daging babi dimasak hingga terlalu kering. Hilanglah tekstur moist babi yang khas itu. Sayur kangkung bunga pepaya yang dibubuhi suwiran ikan tongkol, juga tidak istimewa. Terlalu layu sehingga penampakannya pun tidak menarik. Setengah butir telur ayam dengan bumbu Bali cukup menghibur, walaupun disatukan dalam piring sajian yang isinya melulu masakan dari Manado ini. This menu? Not suggested.

Sate Babi (3K per-tusuk)
Ini juga, sate babi ala Manado. Not in Balinese style. Kami pesan 2 tusuk saja. Setiap tusuk berisi 3 potong besar babi dengan warna cerah, dan disiram oleh sambal rica-rica. Merah mengkilap, berminyak, dengan aroma pedas yang dahsyat. Dan ternyata, selain pedas, memang rasanya pun enak sekali. Irisan bawang merah dalam porsi besar tidak membuat sambal ini jadi melulu rasa bawang. Komposisinya tepat. Pedas. Galak. Dan mengundang untuk terus menyirami nasi dengan minyaknya. Slurp! Sate babinya sendiri sepi bumbu. Dan itu jadi point lebih juga, bagi saya. Rasanya jadi seperti makan grilled pork yang hanya dibumbui garam dan bawang putih. Perfect.

Soup
Sup ini adalah bagian dari pesanan Babi Guling dan Babi Bambu Bakar. Sup yang sangat sederhana. Kaldunya clear, tidak berat. Berisi sepotong iga babi dengan daging tipis melekat pada tulang. Sedikit potongan daun bawang dan sejumlah helai daun kemangi membuat kuah sup tidak terlihat terlalu polos. Cocok untuk membersihkan kerongkongan dari bumbu-bumbu yang melekat sebelumnya dari Babi Guling.

ADE-licious-o-meter:
Taste: 7.5 of 10
Food Presentation: 7 of 10
Service: 7 of 10
Hygienic Level: 6.5 of 10


I definitely will come back. Tapi, lupakan Babi Bambu Bakar. Sepertinya saya akan memesan 1 porsi Nasi Babi Guling Pisah saja, dengan 1 porsi nasi putih. Buat makan berdua sih cukup banget. Selain perbabian, bisa coba pesan Nasi Ayam Tengil. Yang ini, ala Bali. O ya, harga belum termasuk 10% PPN. One more thing; kalau merasa terganggu dengan keberadaan pengamen, boleh coba minta untuk duduk di atas. Ruangan AC, boleh merokok.